Trigonal Translator ~ Penerjemah Inggris-Indonesia Profesional

15 Desember 2010

Filled Under:

Keadilan Dalam Hukum Waris Islam

Kata keadilan berasal dari kata "'adala", yang dalam Al-Quran terkadang disebutkan dalam bentuk perintah ataupun dalam bentuk kalimat berita.

Kata "'adala" dalam Al-Qur'an disebutkan secara berulang-ulang sebanyak 28 kali dalam berbagai bentuknya, untuk menyebutkan suatu keadaan yang lurus. Disebut lurus karena secara khusus kata tersebut bermakna penetapan hukum dengan benar.
Pada pokoknya, syari'ah bertujuan untuk menegakkan perdamaian di muka bumi dengan mengatur masyarakat dan memberikan keadilan kepada semua orang. Jadi, perintah dan keadaan merupakan tujuan mendasar bagi syari'ah.
Dalam bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak, berpegang kepada kebenaran, proporsional, dan lain sebaginya.
Dalam hubungannya dengan hak yang menyangkut materi, khususnya yang menyangkut dengan hukum kewarisan, dapat diartikan bahwa keadilan merupakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan berdasarkan perolehan dan kewajiban/keperluan.
Dengan demikian keadilan dalam hukum waris Islam merupakan ketentuan hukum Islam mengenai peralihan harta warisan dari pewaris (pemilik harta yang meninggal dunia) kepada para ahli waris yang bersifat proporsional dan berimbang.


Dasar utama hukum waris Islam adalah Al-Qur’an dan Al-Hadis, khususnya menyangkut porsi atau bagian masing-masing ahli waris.
Dalam QS. An-Nisa' ayat 11 dan 12. Allah berfirman:


Artinya:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun.”



Ayat-ayat tentang kewarisan tersebut di atas merupakan ketentuan Allah secara umum ('Am) menyangkut siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris berdasarkan hubungan kekerabatan seperti ayah, ibu, anak, dan saudara, ataupun karena hubungan perkawinan (suami/isteri). Selain dari pada itu juga menentukan tentang berapa besar bagian masing masing ahli waris dan langkah apa saja yang dilakukan sebelum menentukan harta peninggalan pewaris baru dikatakan sebagai harta warisan (terlebih dahulu menyelesaikan wasiat pewaris dan membayarkan utang pewaris).
Selain dari pada itu, dalam ayat di atas juga digariskan bahwa porsi seorang laki-laki sama dengan porsi dua orang perempuan dalam satu tingkatan, baik dalam tingkatan anak, saudara ataupun antara suami dengan isteri.


Hal yang paling menonjol dalam pembahasan tentang keadilan menyangkut hukum Kewarisan Islam adalah tentang hak sama-sama dan saling mewarisi antara laki-laki dan perempuan serta perbandingan 2:1 (baca 2 banding 1) antara porsi laki-laki dan perempuan.
Asas keadilan dalam hukum Kewarisan  Islam mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh dan harta warisan dengan kewajiban atau beban kehidupan yang harus ditanggungnya/ditunaikannya diantara para ahli waris , karena   itu arti keadilan dalam hukum waris Islam bukan diukur dari kesamaan tingkatan antara ahli waris, tetapi ditentukan berdasarkan besar-kecilnya  beban atau tanggungjawab diembankan kepada mereka, ditinjau dari keumuman keadaan/kehidupan manusia.
Jika dikaitkan dengan definisi keadilan yang dikemukakan Amir Syarifuddin sebagai "keseimbangan antara hak dan kewajiban dan  keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan", 15 atau perimbangan antara beban dan tanggung jawab diantara ahli waris yang sederajat, maka kita akan melihat bahwa keadilan akan nampak pada pelaksanaan pembagian harta warisan menurut Islam.
Rasio perbandingan 2:1, tidak hanya berlaku antara anak laki-laki dan perempuan saja, melainkan juga berlaku antara suami isteri, antara bapak-ibu serta antara saudara lelaki dan saudara perempuan, yang kesemuanya itu mempunyai hikmah apabila dikaji dan diteliti secara mendalam.
Dalam kehidupan masyarakat muslim, laki-laki menjadi penanggung jawab nafkah untuk keluarganya, berbeda  dengan perempuan. Apabila perempuan tersebut berstatus gadis/masih belum menikah, maka ia menjadi tanggung jawab orang tua ataupun walinya ataupun saudara laki-lakinya. Sedangkan setelah seorang perempuan menikah, maka ia berpindah akan  menjadi tangguag jawab suaminya (laki-laki).
Syari'at Islam tidak mewajibkan perempuan untu menafkahkan hartanya bagi kepentingan dirinya ataupun kebutuhan anak-anaknya, meskipun is tergolong mampu/kaya, jika ia telah  bersuami, sebab memberi nafkah (tempat tinggal, makanan dan pakaian) keluarga merupakan kewajiban yang dibebankan syara' kepada suami (laki-laki setelah ia menikah).
Di Indonesia pernah dikemukakan wacana yang menyatakan perbandingan 2:1 bukan ketentuan yang bersifat pasti dan tetap, sehingga dapat dikompromikan, diantaranya Zainuddin Sardar yang menyatakan bahwa setiap rumusan  hukum yang terdapat pada nash Al-Qur' an dan Hadits terdiri dan unsur-unsur :
a.       Unsur Normatif yang bersifat abadi dan universal, berlaku untuk semua tempat dan waktu serta tidak berubah dan tidak dapat diubah.
b.      Unsur Hudud yang bersifat elastis sesuai dengan keadaan  waktu, tempat  dan  kondisi sebagaimana kaidah:
Artinya: Perubahan hukum (dapat terjadi) berdasarkan perubahan masa, tempat dan keadaan
Oleh karena itu yang abadi dan universal ialah dalam hukum waris Islam diantaranya norma tentang hak dan kedudukan anak laki-laki dan perempuan untuk mewarisi harta warisan orang tua. Sedangkan mengenai besarnya bagian dalam perbandingan laki-laki dan perempuan dalam segala tingkatan yang sederajat merupakan aturan hudud yang dapat dilenturkan.
Meski demikian, pada kenyataannya rumusan Pasal 176 KHI yang dijadikan hukum materil di lingkungan Peradilan Agama, ketentuan 2:1 tidak bergeser.
Ketentuan 176 KHI yang tetap mempertahankan porsi 2:1 antara anak laki-laki dan anak perempuan dilatarbelakangi para penyusun ataupun ahli hukum Islam yang terlibat dalam penyusunan pasal 176 KHI meyakini ketentuan ayat tersebut bersifat Sarih/tafsil dan gath'i, berdasarkan pada teori standar konvensional yang menyebutkan "perbedaan jumlah bagian anak perempuan dengan anak laki-laki berdasarkan hukum imbalan dan tanggung jawab", seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam hukum waris Islam juga ditentukan bagian Ibu dan bapak yang berhak mewarisi bersama anak dengan keturunannya, dalam arti  Ibu dan bapak sama-sama mewarisi dengan porsi yang berimbang, yakni sama-sama memperoleh 1/6 dari harta warisan, apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki. Jika tidak ada, maka ibu mendapat 1/3 dan untuk bapak sisanya 2/3, karma bapak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab memberi nafkah untuk ibu.
Walaupun dalam hukum waris Islam ditentukan porsi 1:1 (satu banding satu) antara bagian ayah dan bagian ibu, yakni sama-sama  memperoleh 1/6 bagian, akan tetapi dalam pelaksanaannya/penerapannya masih memperhatikan keadilan atas dasar hak dan kewajiban, yakni beban dan tanggung jawab laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Oleh karena itu akan dinilai adil jika bagian ayah lebih besar dibandingkan bagian ibu, seperti dalam kasus apabila pewaris meninggalkan ahli waris : suami, ibu dan bapak. Dalam kasus demikian, asal masalah adalah enam, dimana suami memperoleh ½ (3 bagian), ibu memperoleh 1/3 dari  sisa (1 bagian) dan ayah mendapat sisa (2 bagian).

Referensi:
Ahmad Rofik. 1998. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Ahmad Zahari. 2003. Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi'i, Hazairin dan KHI. Pontianak: Romeo Grafika.
Anwar Jasin, 1985, Kerangka Dasar Pembaharuan Pendidikan Islam : Tinjauan Filosofis, Jakarta.
Ali Parman. 1995. Kewarisan Dalam Al-Qur'an; Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
Amir Syarifuddin. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: PT. Gunung Agung
Muhammad Ali ash-Shabuni. 1995. Pembagian Waris menurut Islam. Jakarta: Gema Insani Press

0 comments:

Posting Komentar

Please don't spam here. Happy comments :D

Copyright @ 2013 Islam at Trigonal.